Proses membuat Karya sastra ke cerpen dan esai
Saya mendapatkan informasi bahwa novel cantik itu
luka dicetak kembali pada tahun 2012 ini. saya kemudian tertarik untuk membacanya.
Saya meminjam novel tersebut dari seorang teman. Novel ini membuat saya
tertarik karean penulisnya adalah Eka Kurniawan, orang yang menulis buku Pram
dan Realisme Sosialis. Saya ingin mengetahui apakah Eka meniru gaya Pram dalam
bercerita. Membaca novel ini saya menemukan beberapa hal yang membuat Eka mirip
dengan seorang Pram. Ia menceritakan sejarah yang dimana ia belum lahir,
seperti Pram pada bumi manusia yangg menceritakan sejarah dimana ia belum
lahir. Menceritakan sosok Dewi Ayu di
CIL sama dengan sosok Nyai Ontosoroh di novel Bumi Manusia.
Lewat novel yang
bergenre feminisme, saya menjadi tahu bahwa setiap detail wanita tidak hanya
wanita yang bisa menceritakannya. Dari
novel ini saya menemukan garis besar yaitu dimana sebuah kecantikan bisa
menjadi petaka bagi pemiliknya. Padahal, wanita pada dasarnya sangat suka jika
dikatakan cantik. Saya sempat berdiskusi dengan seorang teman, mengapa wanita
Indonesia sekarang tidak bangga dengan segala yang ia punya terutama dalam hal
fisik. Saya kemudian mencoba menghubungkan novel CIL ini dengan pandangan
“cantik “ wanita Indonesia.
Membaca CIL ini juga saya jadi teringat dengan
seorang teman saya yang bernama Ayu Sukmawati, kemudian saya membuat cerita
tentangnya isertai imajinasi tentangnya. Saya pertama membuat cerpen dengan
gaya saya sendiri, akan tetapi banyak yang mempengaruhi gaya menulis saya,
cerpenis seperti Nukila Amal, Seno, Triwiyanto, Agus Noor, Pringadi, Ayu utami, Djenar, Afrizal Malna, Komang Ira, bahkan Eka Kurniawan sendiri.
Menulis cerpen memang tidak mudah, masih banyak kekurangan dalam cerpen saya,
mungkin pada penokohan, watak, alur, amanat, ataupun dari segi pemilihan kata.
Terus terang saya masih belajar untuk menulis.
Dalam membuat esai saya
sempat bingung, karena apakah harus memakai teori, saya mencoba menelisik novel
CIL ini dari sisi sejarah, yaitu pengaruh poskolonial. Ditilik dari latar
belakang penjajahan Jepang, tentu novel ini sangat kentara menganut
poskolonial. CIL ini juga mengungkapkan
sisi feminis, oleh karena itu saya kemudian membubuhkan feminism kedalam esai
ditambah dengan persepsi cantik wanita Indonesia. Agaknya dominasi dari karya
saya memang feminisme terutama ditilik dari sisi” cantik”. Esai saya tampak
amburadul dan sepertinya kurang menarik. Akan tetapi, saya jadi mengerti memang
benar membaca adalah sarana untuk menulis. Semakin banyak membaca akan membuat
seseorang tergerak untuk membuat karya yang sama bahkan untuk membuat karya
yang lebih hebat. Tiada gading yang tak retak, manusia tidak ada yang sempurna.
Tuhan tidak mengharuskan kita menjadi yang terbaik, tetapi melakukan yang
terbaik.
cantik orang sastra lebih luas pengertiannya; tetapi cantik bagi awam ya seperti pemilik blog ini:)cantik.
BalasHapus