Kembang
Desa
Saat
Wak Sapar mengumandangkan adzan subuh, Marni telah terjaga dari tidurnya.Tampaknya ia gelisah, ada sesuatu
yang membuatnya tidak bisa terlalu lama memejamkan mata. Ia kemudian bangkit,
mengambil air wudhu, dan kemudian bersembahyang subuh. Khusuk. Ada
doa khusus yang ia panjatkan kepada Sang Pencipta.
.Saat ayam jantan belum bersiap berkokok,
ia sudah berdandan di depan cermin
kesayangannya. Pagi itu Marni
terlihat sumringah. Gadis dua puluh
tahun itu tampak berbinar, bening
layaknya embun yang menetes di pucuk-pucuk daun. Wajah ayunya tampak
makin berpendar seperti matahari pagi yang menyemburatkan pesonanya di ufuk
timur. Rambut hitam berombaknyanya tak tampak, tertutupi kerudung berwarna
merah marun polos, dipadukan dengan kebaya berwarna merah dan bawahan jarik bermotif
kawung. Jika dilihat dengan seksama,
ada saputan tipis bedak di wajahnya yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya, mempertegas cambang-cambang halus di
sekitar wajahnya. Bibirnya yang bagaikan delima merah merekah, lebih kelihatan
merah karena dilapisi gincu.
Tampaklah kecantikan dan keluwesannya
dengan dandanan sederhana. Tak perlu
memakai blushon, mascara, eyeliner,atau harus memakai baju
yang mahal rancangan desainer terkenal seperti artis- artis ibukota. Jahitan Yu Sri saja sudah
mampu membuatnya seperti sekuntum bunga mawar yang baru mekar. Mempesona.
Marni
masih mematut di depan cermin, melenggak-lenggokkan badannya, memutar
kekiri-kekanan, sesekali ia tersenyum, menyunggingkan senyum bulan sabitnya,
memunculkan dua lesung di kedua pipinya, mata kejorannya memancarkan
kebahagiaan yang lebih dari biasanya. Marni yang seorang kembang desa akan
dilamar Mas Slamet
, kekasihnya yang baru saja diangkat menjadi PNS di Kecamatan Gombong. Kedua
sejoli itu memang telah merajut kasih sejak lama dan hari ini Marni akan
disunting oleh lelaki yang amat ia cintai itu.
Pasangan yang serasi, yang satu ganteng dan mapan, yang satu cantik dan pintar,
walaupun dirinya sendiri hanya lulusan Madrasah Aliyah. Akan tetapi, bukankah
bagi perempuan yang sudah menikah hanya cukup tahu urusan masak, macak, dan
manak? Marni merasa sudah cukup
menguasainya.
“Ah
sebentar lagi aku akan jadi istri seorang PNS, jadi ibu,j adi seorang perempuan
yang selalu menguatkan suami dan akan selalu bersama sampai ajal menjemput.”.
Tidak
hanya Marni yang sibuk berdandan ibunya, Nini
Sum dan bapaknya, Kaki Ali sudah
tampak rapi jali. Beberapa orang tetangga tampak sibuk didapur mempersiapkan
hidangan untuk tamu istimewa
yang akan datang, saudara-saudara Marni yang dianggap tampak berkumpul di
balai-balai sambil mengobrol ngalor-ngidul tidak ketinggalan tampak bersliweran
beberapa orang pemuda desa di halaman
rumah, penasaran, kembang desa yang sering mereka goda dengan tatapan nakal, akan segera dipinang
oleh lelaki lain. Pagi itu suasana desa
Wanakriya cerah dan cuaca bersahabat, seperti mengisyaratkan kebahagiaan yang Marni
rasakan saat ini.Kicau burung ciblak yang bersahut-sahutan, udara yang
sejuk, matahari yang memancarkan kehangatan, dan angin sejuk yang berhembus
seolah ikut menyambut kebahagiaan Marni.
Semua
warga desa tampak bersuka cita. Kembang desa mereka yang cantik dan santun akan
segera disunting. Hanya satu orang yang
tampak murung atau lebih tepatnya tidak suka bila Marni bersanding dengan
seorang lelaki di pelaminan. Dia
Odah. Kakak kandung sang kembang desa, yang pada usia tiga puluh lima belum
juga bersuami. Bukan karena tidak cantik, juga bukan karena tidak laku, tetapi
kabarnya ia pernah menolak seorang bandot tua dari desa sebelah yang hendak
mempersuntingnya menjadi istri ketiga. Kejadian aneh terjadi setelah penolakan
tersebut, jika ada orang yang Odah suka, maka orang itu tidak menyukai Odah, begitu pula sebaliknya.Tidak ada yang pernah
bisa menyatu dengannya. Puluhan orang pintar pun sudah didatangi, tetapi hasilnya nihil. Rahasia umum yang tetap terjaga
sampai sekarang.
Waktu
berjalan merambat seberti sulur pohon labu dibelakang rumah, dan kejadian itu
sudah berlangsung selama hampir sepersepuluh abad. Orang- orang sudah banyak
yang melupakan petaka itu. Bagi mereka, Odah hanya mantan primadona yang sudah tergantikan
pesona Marni, saudara sedarah dagingnya sendiri.
Pagi
ini dada Odah bergemuruh, terasa sesak, ia menerawang jauh,akhirnya tiba
waktunya dirinya dipermalukan sejadi-jadinya. Peristiwa paling memilukan
dihidupnya akan kembali diungkit-ungkit banyak orang. Adiknya melangkahi
dirinya yang masih lajang atau bahkan lajang selamanya.
”Apa
yang mesti dilakukan? Mengagalkan
semua ini?Sepertinya tidak
mungkin. Aku menyayangi Marni, tapi rasa malu yang aku tanggung jauh lebih besar. Aku tak mau jadi
perawan tua sendirian.”
Tiba-tiba
Odah tersenyum licik, setan telah menang, ia tahu apa yang mesti ia perbuat.
Segeralah ia bangkit, mandi, dan mematut diri, mencari-cari kebaya berwarna
merah menyala, memakai bawahan kain bermotif kawung seperti yang adiknya kenakan. Wajahnya ia lapisi dengan
bedak, tidak terlalu tebal tapi merata, bibirnya yang mirip Marni ia tindihi dengan lipstik berwarna
merah menyala, disemprot-semprotkan minyak wangi di seluruh tubuhnya. Di
ketiak, bawah leher dan bagian belakang tubuhnya ia semprot. Ia berputar,
berkacak pinggang, berlenggak-lenggok dan kemudian tersenyum di cermin.
“Ternyata
aku masih cantik, Rasanya sudah lama aku tidak berdandan, tidak merawat tubuhku
ini, Ah, bandot tua sialan telah merampas kebahagiaanku, padahal aku cantik dan
aku pernah kembang desa, badanku juga lebih tinggi dan indah dibanding Marni,
kalau hanya PNS kecamatan sih, kecil.”
Odah
pun keluar dari peraduannya, melangkahkan kakinya menuju kamar adiknya.Ia
membuka pintu perlahan,ia melihat adiknya masih sibuk membenahi dirinya. Semua
orang dirumah seolah tidak peduli dengan apa yang Odah perbuat. Mereka terlarut
dalam hari bahagia untuk Marni.
“Wah,
Nduk,ayu tenan.”
“Mbakyu,
ngageti,Mbakyu tampak cantik sekali hari ini, mirip Vony
cornelia.”
“
Halah, Bisa saja kamu Nduk aku mau bicara sesuatu.”
“Apa
to Mbakyu?”
Odah
diam sejenak, kemudian berdehem untuk melancarkan bicaranya.
“Kamu
tahu kan Nduk? aku belum menikah, sebentar lagi kamu akan menikah,
berarti kamu melangkahi aku. Dalam adat desa, kamu harus membayar denda
kepadaku sebagai yang dilangkahi, jika tidak sesuatu yang tidak baik akan
terjadi pada rumah tanggamu kelak.”
“Mbakyu
saya tidak tahu menahu tentang adat itu, tapi Marniakan berusaha mematuhinya. Lebih baik
kita bicarakan nanti Mbakyu dengan ibu dan bapak juga saudara-saudara
kita.
Suara gemuruh dari kendaraan bermotor tiba-tiba
menghentikan pembicaraan mereka
.“Dengar itu,sepertinya
rombongan Mas Slamet sudah datang.”
Marni
sebenarnya ingin menghindari
percakapan itu, ia bergegas pergi ke
balai-balai rumahnya untuk bergabung dengan sanak saudara disana, tetapi perasaan resah selalu menyelimutinya. Mbakyunya
pasti malu kalau ia menikah lebih dulu,tapi ini semua takdir, takdir juga yang
menyuratkan kakaknya belum menikah sampai sekarang dan takdir pulalah yang
membuat ia melangkahi kakaknya. Marni tetap terhanyut oleh perasaan serba
bingungnya.Antara bahagia dan juga status dirinya sebagai wanita pelangkah.
Sejenak
Marni menepis kegelisahannya.Sang
Pangeran
beserta calon mertuanya datang membawa seserahan untuk melamar Marni. Mas
slamet tampak tampan
memakai kemeja batik berwarna biru tua, wajahnya sesekali menyunggingkan senyum
pada Marni, jenggot pendek yang sengaja dipelihara menambah ketampanannya, terlihat macho.
Rambutnya baru dipotong seperti model potongan anggota TNI, Mas Slamet memang
agak mirip dengan Adjie Massaid.
Marni
terperangah, suasana hening, yang terdengar adalah suara kekasihnya mengutarakan keinginan untuk melamarnya,
pipi Marni mulai bersemu
merah, tersipu malu sambil mengiyakan ajakan
kekasihnya untuk menikah. Semua yang hadir mengamini. Para orang tua berembug,
tanggal bahagia pun segera ditetapkan,yang baik menurut hari pasaran orang Jawa
dan apa-apa saja yang harus dipersiapkan untuk pernikahan mereka.
Kebahagiaan
Marni tidak berlangsung lama, Setelah keluarga Mas
Slamet pulang.Odah mengumpulkan
semua anggota keluarga.
“Agaknya
semua telah berkumpul disini. Maaf sebelumnya, saya mungkin telah lancang
berbicara seperti ini dihadapan kalian. Akan tetapi, saya perlu mengatakan ini,
saya tidak mau sesuatu terjadi dengan pernikahan Marni kelak, karena sumbernya adalah saya sendiri.”
Odah
berhenti sejenak, mengambil nafas panjang dan menelan ludah untuk membasahi
kerongkonganya yang kering. Dahinya tampak berkeringat.
“Disini
saya akan menjelaskan maksud saya mengumpulkan Uwak, Paman, Bibi dan
orang tua saya serta Marni. Saya
meminta denda atas pernikahan Marni, sebagai wanita yang dilangkahi oleh adik
saya dalam pernikahan. Saya sendiri belum menikah, untuk menghormati adat desa
kita, saya terpaksa berbuat seperti ini.”
Wajah
Odah tampak menjijikkan dimata Marni, ia tahu
Mbakyunya hanya tidak ingin menjadi perawan tua. Akan tetapi ia bisa
apa, adat tetaplah adat, harga mati. Marni hanya bisa memasang tatapan memelas
pada orang tuanya. Akan tetapi, mereka tak bergeming. Nini Sum sebagai
ibu yang peka agaknya tahu perasaan kedua anaknya, mulai angkat bicara.
“Nduk, Odah, denda apa yang kau minta
dari adikmu sebagai bayaran dia melangkahimu?”
“Ah
Mbok, Odah hanya minta denda yang mudah, Aku hanya minta dicarikan calon
suami oleh Marni, setelah itu ia bisa menikah dengan tanpa halangan suatu apa.
“Sudah
kau pikirkan masak-masak permintaanmu itu, Nduk?”
“Tentu,
Mbok, bukankah permintaan saya tidak
terlampau menyusahkan Marni?”
Marni
menahan amarah. Napasnya naik turun. Ia menatap mbakyunya dengan mata
membelalak. Tangannya gemetar.
“Mbakyu,
tapi bagaimana aku bisa mencarikan calon suami secepat itu? pernikahanku satu
bulan lagi tanggal sudah ditentukan, apakah harus diundur oleh keinginan gilamu
itu? Sekarang bagaimana aku mencarinya? Tak
mungkin bisa aku beli laki-laki dengan uang! Mencari laki-laki untuk suamimu
tentu sangat sulit, apalagi kau sudah tua mbakyu!”
Geraham
Odah gemerutuk, tega-teganya Marni menyebut
kata “tua” di hadapannya. Odah segera menguasai perasaanya, ia yakin
akan menang.
“
Itu urusanmu, kalau mau menikah, carikan
aku calon suami!”
Suasana
hening, yang terdengar adalah isak tangis Marni, orang tua Marni hanya bisa
pasrah. mereka tidak sampai hati kepada Odah, hampir setiap hari mereka
mendengar isak tangis saadah, meratap, merutuk kebodohan dirinya, dan mengutuk
lelaki yang telah membuatnya seperti ini, mereka takut kehilangan, setelah
beberapa tahun silam pernah memergoki meminum baygon cair, sebagai puncak atas kekecewaannya. Marni memang
wanita pelangkah dan kali ini ia harus mengalah pada adat.
Wak
Sikem, kakak perempuan Nini Sum membuka suara memecah keheningan yang
terasa ganjil itu.
“Baiklah, kami sudah sepakat akan
membantumu mencari calon suami bagi Mbakyumu, kamu jangan nangis cah ayu,
sing sabar.”
***
Malam
berganti siang, siang berganti malam Waktu berjalan amat tergesa, tak mau
berhenti barang sebentar, terus melaju tanpa tujuan pasti. Sudah lima belas
tahun berlalu, rumah-rumah di desa Wanakriya tampak semakin padat. Jalan
setapak kini telah diaspal dan tidak akan becek jika hujan datang. Sawah-sawah
yang dulu ditanami padi kini telah diduduki oleh bangunan rumah orang-orang
pendatang dari kota, bahkan tampak sebuah Alfamart bertengger di sudut
desa yang kini mulai ramai. Akan tetapi desa ini masih memiliki keistimewaan
yang sepertinya takkan lekang oleh gerusan waktu.
Jika
kau pendatang baru, setiap akan kau lihat
seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun berjalan kesana kemari
tanpa alas kaki,
memakai kebaya berwarna merah yang mulai koyak dan tampak kumal, memakai jarik motif kawung yang sobek disana-sini, dan kerudung merah marun pudar bertengger tidak beraturan di kepalanya
membuat sebagian rambutnya mengintip,
tampak sangat lusuh, bau tak sedap segera tercium tatkala kau mendekatinya.Giginya kuning kehitaman, walaupun begitu sisa-sisa kecantikan
masih tampak di wajahnya yang dekil. Tubuhnya ceking, tinggal tulang diselimuti
kulit. Maklum, ia hanya makan jika ada warga desa yang berbaik hati
memberikannya makan.
“
Wah sayang ya, kalo ndak gila sudah tak pek bojo.”
“Odah
pasti masuk neraka jahanam membuat gila saudara kandungnya.”
“Eman-eman,
kasihan sekali nasibnya padahal cantik pinter lagi”, “Mbakyu orak ngutek iku
jenenge.”
Anak-anak
kecil suka mengikutinya,sembari mengolok-oloknya. Jika Marni akan memutar
badannya, mereka akan lari tunggang langgang
menjauhi si Gila, dan hati-hati, jika kau seorang laki-laki dewasa, kau
akan di seret-seret untuk menuju rumahnya. Ia akan berteriak dan tertawa
kegirangan.
“Ayolah, Mas, kamu harus jadi suami Yu Odah,
biar aku segera menikah dengan Mas Slamet, liat aku sudah dilamar, ini
cincinnya, sebentar lagi akan jadi istri seorang PNS, kamu mau kan menikah
dengan mbakyuku yang cantik itu? dia kan juga mantan kembang desa Wanakriya.”
Ia
akan tertawa setelah mengatakan semua itu, menangis ketika orang orang-orang
mengatakan Mas Slametnya telah berkeluarga, dan bergegas berlari kecil kembali memutari desa. Pada malam hari ia
tidur di sebuah gubuk tua bekas penjual pecel yang sudah lama ditinggalkan
pemiliknya.
Takdir
berkata: Mas slamet yang ia cintai memilih
menikah dengan perempuan lain setelah mendengar keinginan gila Mbakyu Marni. Ia memilih mundur,
memutuskan secara sepihak dan tentu saja membuat Marni terguncang jiwanya. Ia
mengurung diri di kamar selama seminggu, mengamuk, tertawa kemudian menangis. Aksi yang terakhir Marni
adalah keluar rumah dan resmi menjadi wong
gemblung anyaran. Ia tak pernah kembali kerumah, mungkin di benaknya hanya ada satu tujuan,
calon suami untuk Mbakyunya.
Siapa pula yang bisa membaca pikiran orang gila, bahkan Gusti Pangeran
membebaskan mereka dalam beribadah karena telah kehilangan akal. Pada dasarnya
manusia adalah hewan berakal, kalau akalnya hilang kau tentu tahu ia akan
menjadi apa, tanpa perlu kusebut.
Sang kakak,Odah sudah menjadi onggokan
tulang di kuburan Wanakriya. Kabarnya
gantung diri dengan setagen pada malam Jumat Kliwon, beberapa hari setelah
Marni pergi dari rumah dan dinyatakan sudah tidak waras lagi, mungkin merasa
bersalah pada Marni atau bisa jadi malu tetap menjadi perawan tua yang tidak pernah
mencicipi rasanya berkeluarga. Pasangan suami istri yang sudah tua, Nini
Sum dan Kaki Ali hanya bisa pasrah menerima semua, tetap melakukan
segala sesuatu seperti biasa, seperti
belum punya anak. Suatu saat pasangan itu tentu akan menyusul Odah, menjadi onggokan
tulang, dilupakan dan cerita tentang keluarga mereka yang menyedihkan sekaligus memalukan, akan
menjadi cerita turun temurun desa Wanakriya yang mulai ramai oleh pendatang
dari kota. Pasangan tua itu hanya berharap Marni kembali dan membawa apa yang
dicari, ah khayalan yang sampai kapanpun tidak akan pernah kesampaian.
***
Ketika
kau mendengar kisah ini, tolong jika kau perempuan jangan sekali-kali menolak
lamaran bandot tua, dan bayarlah denda yang diminta kakakmu, jika kau
melangkahinya dalam sebuah pernikahan. Jika kau punya sifat dengki, jangan
sesekali mempersulit saudaramu atau kau akan menyesal dan keadaan akan
memaksamu mengakhiri hidup dengan tragis seperti : gantung diri dengan setagen.
Kau tentu tidak mau jadi penerus nasib kedua perempuan ayu itu kan? Dan jika
kau laki-laki, tolong ya, jangan serakah kalau melihat wong wedok ayu!
Cantik itu bisa membawa luka. Gila. Stress,dan bahkan kematian paling memilukan
sekalipun.
Ketika
aku menceritakan ini padamu, dari kejauhan sayup-sayup terdengar lagu campur
sari Kusuma Ningati mengalun dari speaker raksasa Pak lurah
Wanakriya,rupa-rupanya ia sedang menggelar resepsi pernikahan anak perempuannya
dengan seorang PNS yang kebetulan bernama Mas Slamet.
Kusuma
ningati
Duh
wong bagus kang tak anti-anti
Mung
sliramu bisa gawe tentrem ing atiku
Mbiyen
nate janji tak ugemi ora baka lali
…………………………………………….
Pak
lurah membuat benteng pertahanan yang kuat.Terlihat banyak satpam berjaga-jaga
di resepsi pernikahan anak pak lurah, untuk bersiaga bila ada hal yang tidak
dinginkan terjadi. Seperti: Orang gila yang berjenis kelamin perempuan, masuk
ke resepsi pernikahan putri pak lurah dan menyeret mempelai pria yang kebetulan
bernama Mas Slamet dan memaksanya menjadi Calon Suami Mbakyunya!
Jogjakarta
28-03-2012
Untuk
ibunda tercinta, Dyah Murtiningtyas
.
Keterangan:
Wak : sebutan orang jawa untuk
kakak dari ibu atau ayah
Jarik :
selendang yang fungsinya seperti rok.
Kawung : sejenis motif batik
masak, macak, dan manak : memasak, berdandan, dan melahirkan
Cah
: nak
Mbakyu, yu :
panggilan untuk kakak perempuan
Nduk : panggilan
untuk anak perempuan
Mbok : ibu
Nini, kaki : nenek, kakek
Tak pek
bojo : diambil untuk menjadi istri
Eman-eman : sayang
Mbakyu orak ngutek iku jenenge: kakak perempuan yang tidak punya pikiran itu
namanya
Wong gemblung anyaran : orang gila baru
Wong wedok ayu :
perempuan cantik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar